TANYA:
Assalamualaikum wrwb Ustadz, saya mau
tanya, kalau kita belum aqiqah, sebaiknya kita mendahulukan aqiqah atau
qurban dahulu? Terima kasih.
Ahmad, Bandung
JAWAB:
Sobat
Ahmad yang dirahmati Allah SWT, aqiqah adalah sembelihan hewan kurban
untuk anak yang baru lahir dan disyariatkan pada orang tua sebagai wujud
syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, serta berharap
keselamatan dan berekah pada anak yang lahir tersebut. Hukum pelaksanaan
aqiqah ini adalah sunnah muakkadah. Imam Ahmad berkata: “Aqiqah
merupakan sunnah dari Rasulullah SAW. Beliau telah melakukan aqiqah
untuk Hasan dan Husain, para sahabat beliau juga melakukannya”.
Waktu pelaksanaannya, disunnahkan pada hari ketujuh. Jika tidak dapat,
maka pada hari keempat belas. Bila tidak, maka pada hari kedua puluh
satu. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda: "Semua anak yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh". [HR Ibnu Majah, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 2563].
Rasulullah
SAW juga bersabda: "Aqiqah disembelih pada hari ketujuh atau empat
belas atau dua puluh satu" [HR Al Baihaqi, dan dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 4132]. Ataupun kalau dia tidak mampu
pada hari-hari tersebut, maka dapat dapat dilakukan kapanpun ia memiliki
kelapangan rezeki, sebagaimana makna dari pendapat para ulama madzhab
Syafi’i dan Hambali bahwa sembelihan untuk aqiqah bisa dilakukan sebelum
atau setelah hari ketujuh.
Adapun yang bertanggung jawab
melakukan aqiqah ini adalah ayah dari bayi yang terlahir, namun para
ulama berbeda pendapat apabila yang melakukannya adalah selain ayahnya :
1. Para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sunnah ini dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya.
2.
Para ulama Madzhab Hambali dan Maliki berpendapat bahwa tidak
diperkenankan seseorang mengaqiqahkan kecuali ayahnya dan tidak
diperbolehkan seorang yang dilahirkan mengaqiqahkan dirinya sendiri
walaupun dia sudah besar, karena menurut syariat bahwa aqiqah ini adalah
kewajiban ayah dan tidak bisa dilakukan oleh selainnya.
3.
Sekelompok ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa seseorang
diperbolehkan mengaqiqahkan dirinya sendiri sebagai suatu yang
disunnahkan. Aqiqah tidak mesti dilakukan saat masih kecil dan seorang
ayah boleh mengaqiqahkan anak yang terlahir walaupun anak itu sudah
baligh karena tidak ada batas waktu maksimalnya (al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu juz IV hal 2748).
Aqiqah atau Qurban dari keterangan di
atas bisa disimpulkan bahwa aqiqah tidak mesti dilakukan pada hari
ketujuh dan itu semua diserahkan kepada kemampuan dan kelapangan rezeki
orang tuanya. Bahkan aqiqah bisa dilakukan saat anak itu sudah
besar/baligh.
Orang yang paling bertanggungjawab melakukan aqiqah
adalah ayah dari bayi terlahir pada waktu kapan pun ia memiliki
kesanggupan. Namun jika karena si ayah memiliki halangan untuk
mengadakan aqiqah, maka si anak bisa menggantikan posisinya yaitu
mengaqiqahkan dirinya sendiri, meskipun perkara ini tidak menjadi
kesepakatan dari para ulama. Dari dua hal tersebut di atas maka ketika
seseorang dihadapkan oleh dua pilihan dengan keterbatasan dana yang
dimilikinya antara qurban atau aqiqah, maka qurban lebih diutamakan
baginya, karena hal berikut:
1. Perintah berqurban ini ditujukan
kepada setiap orang yang mukallaf dan memiliki kesanggupan berbeda
dengan perintah aqiqah yang pada asalnya ditujukan kepada ayah dari bayi
yang terlahir.
2. Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan
seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri, namun perkara ini bukanlah yang
disepakati oleh para ulama. Dalil mereka yang memperbolehkan seseorang
mengaqiqahkan dirinya sendiri adalah apa yang diriwayatkan dari Anas dan
dikeluarkan oleh Al Baihaqi, “Bahwa Nabi saw mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah beliau diutus menjadi Rasul”. Kalau saja hadits ini shahih, akan tetapi dia mengatakan,”Sesungguhnya
hadits ini munkar dan didalamnya ada Abdullah bin Muharror dan ia
termasuk orang lemah sekali sebagaimana disebutkan oleh al Hafizh Ibnu
Hajar. Kemudian Abdur Rozaq berkata, 'Sesungguhnya mereka telah membicarakan dalam masalah ini dikarenakan hadits ini'.” (Nailul Author juz VIII hal 161 – 162, Maktabah Syamilah).
Sobat zakat semua, mudah-mudahan penjelasannya bermanfaat. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Sumber : http://m.kompas.com/read/2012/10/17/14310946/Aqiqah.Dulu.atau.Qurban
BANK KAMBING LAMPUNG
Minggu, 21 Oktober 2012
Menitipkan Qurban ke Daerah Minus
TANYA:
Assalamu’alaikum ustadz. Apakah benar menyembelih hewan qurban itu harus disaksikan secara langsung dan tidak boleh mengirimkan sejumlah uang untuk menyembelihnya di daerah lain? Dan apa hukum mencicipi/memakan hewan qurban bagi si pekurban? Jazakallah.
Arif, Jakarta
JAWAB:
Sobat Zakat Arif yang dirahmati Allah SWT, Rasulullah SAW telah menganjurkan bagi orang-orang yang berqurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat bahwa Rasulullah SAW melaksanakan sendiri penyembelihan seekor domba dan beliau bersabda: “Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini adalah dariku dan dari umatku yang belum melaksanakannya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Akan tetapi jika orang tersebut tidak bisa menyembelih maka hendaklah dia menyaksikan proses penyembelihan hewan qurban tersebut, karena Nabi SAW pernah bersabda kepada Fatimah ra: “Wahai Fatimah, bangkitlah dan saksikanlah penyembelihan hewan qurbanmu! Sesungguhnya sejak tetes darah pertama kurbanmu, Allah SWT telah mengampuni dosa yang kamu perbuat. Katakanlah, inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, laa syarika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimin (Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama dari orang-orang yang menyerahkan diri kepada-Nya).
Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah qurban ini khusus untukmu dan keluargamu atau bagi segenap kaum muslimin?" Rasulullah menjawab, "Tidak, ia untuk segenap kaum muslimin." (HR. Al-Hakim).
Namun, jika ia tidak bisa menyaksikan penyembelihannya secara langsung dikarenakan sebab-sebab tertentu, misalnya karena memang pelaksanaannya di luar daerah, maka hal tersebut tidak apa-apa asalkan telah ada kesepakatan dan pemberian izin kepada mereka yang akan melaksanakannya. Sebab, hukum menyaksikannya adalah sunnah sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz IV/274).
Pada dasarnya hewan qurban dipotong dan didistribusikan kepada kaum fakir miskin yang ada di desa atau daerah tempat tinggal orang yang berqurban. Akan tetapi jika di desa atau daerah lain Iebih membutuhkan, maka hewan qurban boleh ditransfer (dipindahkan) dan didistribusikan kepada fakir miskin di desa atau daerah lain. Baik dalam bentuk daging, hewan yang masih hidup atau dalam bentuk uang yang dipergunakan untuk membeli hewan qurban tersebut.
Pendapat ini telah disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz III/633 oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili). Adapun mencicipi/memakan sebagian daging qurban bagi orang-orang yang berqurban, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu sunnah (Lihat Fiqhus Sunnah 3:277); Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu VI/282). Mereka berhujah dengan beberapa dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah swt : “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj : 28). Menurut Imam Qurtubi dalam tafsirnya, perintah dalam ayat ini bermakna sunnah menurut Jumhur Ulama. Dianjurkan bagi si pequrban memakan daging qurbannya dan bersedekah dengan sebagian besar daging qurbannya. Namun, diperbolehkan bersedekah dengan seluruhnya atau memakan semuanya (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 12/44).
2. Hadits Rasulullah saw, “Makanlah oleh kalian, bershadaqahlah dan simpanlah.” (HR. Bukhari (5569), Muslim (1971), Abu Dawud (2812).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa sunnah membagi daging qurban menjadi tiga bagian; sepertiga untuk disimpan, sepertiga untuk disedekahkan dan sepertiga lagi untuk dimakan. (Bidayatul Mujtahid, juz II hal. 32) 3.
Jumhur Ulama menyebutkan bahwa dahulu kaum musyrikin tidak memakan hewan qurban mereka, kemudian diberikan rukhshah (keringanan) bagi kaum muslimin untuk memakannya sesuai sabda Rasul SAW. Mereka berpendapat bahwa suatu perintah yang datang setelah larangan maka hukumnya bukan merupakan kewajiban.
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan kita bisa melaksanakan ibadah qurban kali ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/10/15/16165012/Menitipkan.Qyrban.ke.Daerah
Assalamu’alaikum ustadz. Apakah benar menyembelih hewan qurban itu harus disaksikan secara langsung dan tidak boleh mengirimkan sejumlah uang untuk menyembelihnya di daerah lain? Dan apa hukum mencicipi/memakan hewan qurban bagi si pekurban? Jazakallah.
Arif, Jakarta
JAWAB:
Sobat Zakat Arif yang dirahmati Allah SWT, Rasulullah SAW telah menganjurkan bagi orang-orang yang berqurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat bahwa Rasulullah SAW melaksanakan sendiri penyembelihan seekor domba dan beliau bersabda: “Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini adalah dariku dan dari umatku yang belum melaksanakannya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Akan tetapi jika orang tersebut tidak bisa menyembelih maka hendaklah dia menyaksikan proses penyembelihan hewan qurban tersebut, karena Nabi SAW pernah bersabda kepada Fatimah ra: “Wahai Fatimah, bangkitlah dan saksikanlah penyembelihan hewan qurbanmu! Sesungguhnya sejak tetes darah pertama kurbanmu, Allah SWT telah mengampuni dosa yang kamu perbuat. Katakanlah, inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, laa syarika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimin (Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama dari orang-orang yang menyerahkan diri kepada-Nya).
Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah qurban ini khusus untukmu dan keluargamu atau bagi segenap kaum muslimin?" Rasulullah menjawab, "Tidak, ia untuk segenap kaum muslimin." (HR. Al-Hakim).
Namun, jika ia tidak bisa menyaksikan penyembelihannya secara langsung dikarenakan sebab-sebab tertentu, misalnya karena memang pelaksanaannya di luar daerah, maka hal tersebut tidak apa-apa asalkan telah ada kesepakatan dan pemberian izin kepada mereka yang akan melaksanakannya. Sebab, hukum menyaksikannya adalah sunnah sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz IV/274).
Pada dasarnya hewan qurban dipotong dan didistribusikan kepada kaum fakir miskin yang ada di desa atau daerah tempat tinggal orang yang berqurban. Akan tetapi jika di desa atau daerah lain Iebih membutuhkan, maka hewan qurban boleh ditransfer (dipindahkan) dan didistribusikan kepada fakir miskin di desa atau daerah lain. Baik dalam bentuk daging, hewan yang masih hidup atau dalam bentuk uang yang dipergunakan untuk membeli hewan qurban tersebut.
Pendapat ini telah disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz III/633 oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili). Adapun mencicipi/memakan sebagian daging qurban bagi orang-orang yang berqurban, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu sunnah (Lihat Fiqhus Sunnah 3:277); Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu VI/282). Mereka berhujah dengan beberapa dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah swt : “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj : 28). Menurut Imam Qurtubi dalam tafsirnya, perintah dalam ayat ini bermakna sunnah menurut Jumhur Ulama. Dianjurkan bagi si pequrban memakan daging qurbannya dan bersedekah dengan sebagian besar daging qurbannya. Namun, diperbolehkan bersedekah dengan seluruhnya atau memakan semuanya (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 12/44).
2. Hadits Rasulullah saw, “Makanlah oleh kalian, bershadaqahlah dan simpanlah.” (HR. Bukhari (5569), Muslim (1971), Abu Dawud (2812).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa sunnah membagi daging qurban menjadi tiga bagian; sepertiga untuk disimpan, sepertiga untuk disedekahkan dan sepertiga lagi untuk dimakan. (Bidayatul Mujtahid, juz II hal. 32) 3.
Jumhur Ulama menyebutkan bahwa dahulu kaum musyrikin tidak memakan hewan qurban mereka, kemudian diberikan rukhshah (keringanan) bagi kaum muslimin untuk memakannya sesuai sabda Rasul SAW. Mereka berpendapat bahwa suatu perintah yang datang setelah larangan maka hukumnya bukan merupakan kewajiban.
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan kita bisa melaksanakan ibadah qurban kali ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/10/15/16165012/Menitipkan.Qyrban.ke.Daerah
Minggu, 14 Oktober 2012
Sunnah Aqiqah
SUNNAH AQIQAH
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi
segala karunia dan nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik
hingga hari pembalasan.
Pengertian Aqiqah
Mengenai pengertian aqiqah
disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-,
yaitu aqiqah berasal dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah adalah
sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan
secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala
si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti
(يُعَقُّ), yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si bayi dicukur pula
ketika itu.
Pensyariatan Aqiqah
Aqiqah adalah sesuatu amalan yang
disyari’atkan oleh kebanyakan ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah,
para fuqoha tabi’in, dan para ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan
aqiqah adalah sebagai berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ
الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ
عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin 'Amir Adh
Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka
sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR.
Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan
aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan
diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah
nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ
دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ
الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ
وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَلِىٍّ وَأُمِّ كُرْزٍ
وَبُرَيْدَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
وَأَنَسٍ وَسَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ
عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَحَفْصَةُ هِىَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah
masuk menemui Hafshah binti 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang
hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat
untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk
anak perempuan."
Ia berkata, "Dalam bab ini ada
hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah
bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu Abbas." Abu Isa berkata,
"Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud
Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman bin Abu Bakar
Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
riwayat ini shahih)
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا
كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al
Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits
tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri?
Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama
terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ
فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
“Dari Salman bin 'Amir Adh
Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka
sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga
berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib
semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan
jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan
juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-
Hadits dari jumhur ulama yang
menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ
وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang senang untuk
mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak
wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah
indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang
memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam
Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan
tidak pula sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil
oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur
ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits
shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam
Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh
dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
“Aku tidak menyukai aqiqah”,
seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan
aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد فَأَحَبَّ
أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur,
dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan
semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan
satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut
marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua
riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang
aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang
menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas
menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits
adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah,
dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam
dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai
pula menyebut Isya dengan ‘atamah.”
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana
pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan
kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang
menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi
orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak
meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq -rahimahullah-
memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah
muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai
aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya.
Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan
satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan
Daud Azh Zhohiri.”
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika
si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang
beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam
Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا
يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ
سُنَّةٍ .
“Jika seseorang tidak memiliki
kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan.
Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah
menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Manfaat Aqiqah
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ
“Setiap anak tergadaikan dengan
aqiqahnya.”
Para ulama berselisih pendapat
mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika
seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua
orang tuanya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah-
mengatakan,
“Sebagian ulama mengartikan “setiap
anak digadaikan dengan aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak
tersebut terlepas dari kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya
akan begitu lapang setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka
keadaannya akan selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan
barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits
tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan,
hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”
Siapa yang Dituntut
Melaksanakan Aqiqah?
Aqiqah dituntut pada ayah selaku
penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak.
Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Subulus
Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy
Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi.
Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali
jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”
Dalam masalah ini berarti ada
perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu
saja yang utama adalah ayah yang menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang
sudah jelas penanggung nafkah keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah
dibebankan pada anak atau ibu yang sama sekali bukan orang yang bertanggung
jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan
dan Al Husain-?
Dijawab oleh salah seorang ulama
Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud
dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah
beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan
hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain
menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang
tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari
harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya.
Karena aqiqah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua
sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”
Bagaimana Jika Tidak
Mampu Aqiqah? Apakah Harus Mengaqiqahi Diri Sendiri Ketika Dewasa?
Aqiqah tentu saja melihat pada
kemampuan orang yang bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu
kalian” (QS. At Taghobun: 16).
Asy Syarbini –rahimahullah-
menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada saat kelahiran,
namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari
ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika
orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih
tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan
tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah
menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah
pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”
Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya
mampu diaqiqahi ketika lahir, namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua
yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun
anaknya sudah dewasa. Jika sampai dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi,
maka ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi
dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut
sebagai pendapat yang batil.
Sebagaimana pula dikatakan dalam
salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya
sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah)
dari setiap jalannya.”
Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-,
“Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan
untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?”
Beliau -rahimahullah-
memberikan jawaban –di antaranya-,
“Apabila orang tuanya dahulu adalah
orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak
punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya.
Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia
tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba
cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan
aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu
melaksanakan aqiqah ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya
dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”
Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika
bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak
mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika
ia dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka
sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak
mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena
Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan
dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar.Wallahu a’lam.
Pembahasan aqiqah tidak hanya sampai
di sini, kita masih melanjutkan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan
pelaksanaan aqiqah. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa
taimmush sholihaat.
Artikel www.rumaysho.com
Minggu, 07 Oktober 2012
Bank Kambing ASPEKPIN LAMPUNG
BANK KAMBING LAMPUNG binaan ASPEKPIN (ASOSIASI PETERNAK KAMBING PERAH INDONESIA) adalah wadah bersama para peternak se-Provinsi Lampung, yang bergerak di bidang pemasaran sarana
dan produksi hasil peternakan maupun olahannya, diantaranya sapi, kambing, susu
sapi, susu kambing, yourgut, ice cream dan pembibitan.
Koperasi aspekpin juga bergerak dalam
budidaya peternakan sapi dan kambing domba serta pembuatan alat alat pertanian
dan peternakan.Peternakan binaan ASPEKPIN tersebar di Lampung, diantaranya di
Pesawaran, Lampung Selatan, Metro dan Tanggamus, sedangkan kabupaten lain dalam
proses pembentukan.
Pemasaran produk Koperasi ASPEKPIN
diseluruh Wilayah Provinsi Lampung baik kepada Instansi Pemerintahan, BUMN,
SWASTA, maupun Masyarakat peternak dan petani di Lampung maupun di luar Lampung.
Langganan:
Postingan (Atom)