SUNNAH AQIQAH
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi
segala karunia dan nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik
hingga hari pembalasan.
Pengertian Aqiqah
Mengenai pengertian aqiqah
disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-,
yaitu aqiqah berasal dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah adalah
sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan
secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala
si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti
(يُعَقُّ), yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si bayi dicukur pula
ketika itu.
Pensyariatan Aqiqah
Aqiqah adalah sesuatu amalan yang
disyari’atkan oleh kebanyakan ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah,
para fuqoha tabi’in, dan para ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan
aqiqah adalah sebagai berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ
الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ
عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin 'Amir Adh
Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka
sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR.
Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan
aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan
diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah
nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ
دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ
الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ
وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَلِىٍّ وَأُمِّ كُرْزٍ
وَبُرَيْدَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
وَأَنَسٍ وَسَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ
عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَحَفْصَةُ هِىَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah
masuk menemui Hafshah binti 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang
hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat
untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk
anak perempuan."
Ia berkata, "Dalam bab ini ada
hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah
bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu Abbas." Abu Isa berkata,
"Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud
Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman bin Abu Bakar
Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
riwayat ini shahih)
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا
كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al
Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits
tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri?
Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama
terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ
فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
“Dari Salman bin 'Amir Adh
Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka
sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga
berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib
semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan
jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan
juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-
Hadits dari jumhur ulama yang
menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ
وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang senang untuk
mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak
wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah
indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang
memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam
Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan
tidak pula sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil
oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur
ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits
shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam
Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh
dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
“Aku tidak menyukai aqiqah”,
seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan
aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد فَأَحَبَّ
أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur,
dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan
semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan
satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut
marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua
riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang
aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang
menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas
menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits
adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah,
dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam
dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai
pula menyebut Isya dengan ‘atamah.”
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana
pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan
kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang
menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi
orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak
meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq -rahimahullah-
memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah
muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai
aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya.
Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan
satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan
Daud Azh Zhohiri.”
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika
si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang
beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam
Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا
يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ
سُنَّةٍ .
“Jika seseorang tidak memiliki
kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan.
Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah
menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Manfaat Aqiqah
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ
“Setiap anak tergadaikan dengan
aqiqahnya.”
Para ulama berselisih pendapat
mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika
seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua
orang tuanya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah-
mengatakan,
“Sebagian ulama mengartikan “setiap
anak digadaikan dengan aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak
tersebut terlepas dari kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya
akan begitu lapang setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka
keadaannya akan selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan
barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits
tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan,
hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”
Siapa yang Dituntut
Melaksanakan Aqiqah?
Aqiqah dituntut pada ayah selaku
penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak.
Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Subulus
Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy
Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi.
Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali
jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”
Dalam masalah ini berarti ada
perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu
saja yang utama adalah ayah yang menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang
sudah jelas penanggung nafkah keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah
dibebankan pada anak atau ibu yang sama sekali bukan orang yang bertanggung
jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan
dan Al Husain-?
Dijawab oleh salah seorang ulama
Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud
dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah
beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan
hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain
menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang
tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari
harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya.
Karena aqiqah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua
sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”
Bagaimana Jika Tidak
Mampu Aqiqah? Apakah Harus Mengaqiqahi Diri Sendiri Ketika Dewasa?
Aqiqah tentu saja melihat pada
kemampuan orang yang bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu
kalian” (QS. At Taghobun: 16).
Asy Syarbini –rahimahullah-
menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada saat kelahiran,
namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari
ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika
orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih
tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan
tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah
menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah
pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”
Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya
mampu diaqiqahi ketika lahir, namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua
yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun
anaknya sudah dewasa. Jika sampai dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi,
maka ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi
dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut
sebagai pendapat yang batil.
Sebagaimana pula dikatakan dalam
salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya
sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah)
dari setiap jalannya.”
Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-,
“Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan
untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?”
Beliau -rahimahullah-
memberikan jawaban –di antaranya-,
“Apabila orang tuanya dahulu adalah
orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak
punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya.
Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia
tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba
cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan
aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu
melaksanakan aqiqah ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya
dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”
Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika
bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak
mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika
ia dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka
sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak
mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena
Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan
dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar.Wallahu a’lam.
Pembahasan aqiqah tidak hanya sampai
di sini, kita masih melanjutkan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan
pelaksanaan aqiqah. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa
taimmush sholihaat.
Artikel www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar